Kokoh Lewati Resesi Dunia

Deputi GM Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UBPN) Sultra PT Aneka Tambang (ANTAM) Nilus Rahmat (kiri) didampingi VP CSR Kamsi (kanan) memeriksa biji feronikel siap ekspor di Pelabuhan Pomala, Kolaka, Sultra, Selasa (8/5). Realisasi penjualan feronikel tahun 2017 mencapai 21.812 ton dan pertumbuhan penjualan tahun 2018 ditarget sebesar 26 ribu ton. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/pd/18

Investor Daily (redaksi@investor.id)

Antrean panjang pasien International Monetary Fund (IMF) mengonfirmasi badai resesi dunia di ambang mata. Fundamental ekonomi Indonesia yang masih kuat patut disyukuri, termasuk dengan bersinergi menuntaskan agenda pemerintahan Presiden Jokowi untuk transformasi ekonomi struktural, digital, dan energi baru terbarukan.

Saat menandatangani prasasti transformasi Berita Satu Media Holdings menjadi B Universe di Jakarta Convention Center, Selasa (11/10/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung antrean 28 negara yang meminta pertolongan IMF untuk dibantu perekonomiannya menjelang terjangan perfect storm’. Dalam konteks ekonomi global, hal itu merujuk badai besar dari 3 hal mengerikan yang menjadi satu, yang dipastikan terjadi tahun depan.

Yang pertama adalah krisis lonjakan inflasi tertinggi yang dialami negara-negara maju dalam 30-40 tahun terakhir. Kedua, ancaman resesi atau penurunan ekonomi dua kuartal berturut-turut atau lebih, disertai gelombang pengangguran tinggi.

Ketiga, ketidakpastian geopolitik global yang menjadi momok setelah agresi Rusia ke Ukraina. Pecahnya perang yang tidak pernah diduga sebelumnya ini, tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Yang sudah bisa dipastikan hanyalah dimensinya meluas, tak hanya memicu melambungnya harga komoditas energi dan pangan.

Indonesia sendiri juga pastinya terdampak. Meski demikian, ekonomi nasional diyakini masih berpeluang tumbuh 5,3% tahun depan. Proyeksi ini bahkan lebih baik dari tahun ini yang diperkirakan 5,2%, setelah pada kuartal I melaju 5,01%, triwulan II sebesar 5,44%, dan berikutnya diperkirakan 5,2%.

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebagai salah satu yang terbaik di dunia, berkat masih kuatnya konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang separuh lebih produk domestik bruto (PDB). Daya beli masyarakat yang masih tangguh diindikasikan dari indeks keyakinan konsumen (IKK) yang tercatat di atas 100, tepatnya 117,2, pada September lalu.

Selain itu, investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) menguat, didukung pula likuiditas perbankan yang masih bagus untuk menunjang ekspansi usaha. Ekspor juga melambung, termasuk karena lonjakan harga komoditas energi batu bara, pangan minyak sawit, dan mineral seperti nikel. Ekspor ini juga ditopang laju industri pengolahan yang tetap ekspansif, yang mendorong neraca perdagangan Agustus surplus US$ 5,76 miliar, melonjak 36% dibandingkan pada bulan sebelumnya.

Cadangan devisa juga di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor, meski sebagian sudah dipakai Bank Indonesia untuk intervensi pasar guna stabilisasi rupiah. Dana asing masuk ke pasar saham juga masih berlanjut hingga kemarin, dengan akumulasi net buy secara year to date Rp 72,25 triliun.

Meski indikator ekonomi makro itu menunjukkan tingkat resiliensi Indonesia relatif tinggi, namun kita harus tetap waspada. Apalagi, sejumlah negara seperti Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuannya tinggi-tinggi guna memerangi lonjakan inflasi, sehingga dolar cenderung pulang kandang.

Dalam hal inflasi, Indonesia juga diuntungkan dengan relatif kuatnya ketahanan pangan nasional dan produksinya berpotensi untuk digenjot, meski di sisi energi ada titik lemah terkait tingginya impor minyak bumi. Inflasi masih terkendali sebesar 5,9% pada September lalu secara year on year, kendati di awal bulan ada penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Di sisi lain, tercapainya proyeksi pertumbuhan RI itu juga masih sangat bergantung pada berlanjutnya pengendalian pandemi, respons kebijakan yang tepat, dan percepatan reformasi struktural. Kita harus segera memperbaiki fundamental ekonomi agar makin kokoh menghadapi badai dahsyat dunia yang segera datang.

Hilirisasi sumber daya alam harus diperkuat untuk mempercepat transformasi ekonomi struktural, dari berbasis komoditas ke industri manufaktur maupun jasa bernilai tambah tinggi. Hilirisasi adalah kunci kita melompat maju, yang bisa dilihat dari kisah sukses industrialisasi nikel, yang kontribusi ekspornya melambung 18 kali menjadi US$ 20,9 miliar atau sekitar Rp 360 triliun.

Oleh karena itu, pemerintah perlu merealisasikan segera kebijakan untuk menyetop ekspor timah, bauksit, hingga tembaga, sehingga baik pajak ekspor, royalti, hingga dividen pun masuk semua ke dalam negeri, tidak malah yang menikmati asing.

Selain itu, impor aspal juga perlu segera dihentikan dan mendorong pengolahan aspal di dalam negeri. Apalagi, penggunaan aspal kebanyakan juga proyek-proyek infrastruktur pemerintah dan BUMN/BUMD. Belum lagi, cadangannya di Buton besar menembus 662 juta ton, cukup untuk 120 tahun dengan menghitung kebutuhan kita 5 juta ton setahun.

Kita juga jangan lengah untuk mengantisipasi perfect storm dengan memperkuat cadangan dan produksi pangan dalam negeri, yang belum optimal. Kita juga harus ikut menyukseskan vaksinasi booster yang akan diekstensifikasikan pada November 2022 hingga Januari mendatang, sehingga pada Februari kasus positif Covid-19 melandai dan kita lepas dari pandemi. Yang juga tak kalah penting, jangan pernah lengah dengan membiarkan bibit-bibit adu domba lewat politik identitas yang memanas menjelang pilpres, yang dipastikan menghancurkan optimisme kita.

Editor : Ester Nuky (esther@investor.co.id)

Sumber : Investor Daily

Translate »

Tender Offer

A tender offer is a bid to purchase some or all of a corporation’s shareholders’ stock. Tender offers are typically made publicly and invite shareholders to sell their shares for a specified price within a particular time window.

Cash Dividend

The cash dividend is part of the Company’s profit distributed to shareholders in cash.

Stock Dividend

Stock dividend is the allocation of company profits in additional shares.

Stock Split

A stock split is when a company divides the existing shares of its stock into multiple new shares to boost the stock’s liquidity.

Capital Placement without Pre-emptive Right

Capital Placement without Pre-emptive Rights (PMTHMETD) is the issuance of new shares through a private placement to selected investors.

Right Issue

Right issue or Preemptive Rights (HMETD) is the right for old shareholders to buy new stocks by the issuer.

Bonus Stock

Bonus Stocks are shares distributed free of charge to shareholders based on the number of shares owned.

The General Meeting of Shareholders (GMS)

The General Meeting of Shareholders (GMS) is a forum for shareholders to exercise their right to make certain decisions related to the Company, receive reports from the Board of Commissioners and Directors regarding their performance, and question the Board regarding actions.

Data Presentation

The report of shares activity on the secondary market is carried out comprehensively in the form of tables, graphs, and diagrams to facilitate the understanding.

Stock Registration Activity Report (Monthly)

Stock prices fluctuate because of the demand and supply of these shares. Therefore, we provide stock activity reports every month.

Stock Register

A stock register is a detailed record of the shares issued by a corporation and any repurchases and transfers between shareholders.