UEA Minta BM Bahan Baku Plastik Dihapus, Industri Nasional Ketar-ketir
Harso Kurniawan (harso@investor.co.id)
JAKARTA, Investor.id – Belum lama ini, Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA) melaksanakan perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Emirat Arab (Indonesia-United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement /IUAE-CEPA). Dalam perundingan itu, UEA berencana mengajukan opsi penurunan tarif bea masuk (BM) bahan baku plastik berkode HS 39 hingga 0%.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, hal itu akan sangat mengancam industri petrokimia, produsen bahan baku plastik, dalam negeri yang sedang gencar membangun dan menggelontorkan investasi kakap. Sebab, rencana itu akan menghilangkan kepercayaan investor, karena bahan baku plastik dari UEA akan membanjiri pasar domestik.
Lebih lanjut Fajar mengatakan, semestinya, UEA tidak berencana mengajukan rencana itu, karena tidak adil dalam perdagangan bilateral. Itu sebabnya, pemerintah harus bisa mendorong UEA untuk membangun pabrik petrokimia di Indonesia, agar kedua pihak tidak dirugikan. “Apalagi, kita sedang banyak membangun pabrik petrokimia di dalam negeri,” kata dia, Senin (6/6/2022).
Senada, Wakil Ketua Komite Tetap Industri Kimia Hulu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Edi Rivai mengatakan, rencana tersebut sangat memberatkan industri petrokimia produsen baku plastik dalam negeri. Kalau disetujui pemerintah, hal itu akan menjadi ancaman industri petrokimia dalam negeri yang sedang giat membangun pabrik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk produk seperti LLDPE.
Menurut Edi, masalah liberalisasi FTA IUAE perlu dukungan dari Menteri Perdangan M. Lutfi dan Menperin Agus Gumiwang. Kedua menteri ini perlu mengeluarkan produk polimer polipropilena (PP) dan polietilena (PE) nomor HS 39 dikeluarkan dari diskusi. Alasannya, rencana itu akan sangat membahayakan produsen lokal dan mengancam investasi diIndonesia. Selain itu, penerapan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN ) yang terus didorong pemerintah selama ini bisa gagal.
“Jika keran impor produk nomor HS 39 dibuka, terdapat biaya yang sangat signifikan terhadap neraca perdagangan Indonesia sebesar Rp 65,15 triliun. Ini berasal dari pertumbuhan permintaan yang tidak diikuti pertumbuhan produksi domestik yang mati, karena investasi tidak terealisasi,” tukas Edi.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Indonesia akan menjadi produsen petrokimia utama di Asean, seiring peningkatan investasi dan ekspansi industri nasional. Sebab, dalam kurun 2020 hingga 2030, pemerintah tengah mengawal proyek-proyek petrokimia raksasa dengan total investasi US$ 31 miliar. Investasi tersebut akan memperkuat industri petrokimia hulu dan mampu mensubstitusi barang yang masih diimpor, seperti etilena, propilena, BTX, butadiena, PE, dan PP.
Saat ini, kapasitas industri nasional untuk produk-produk tersebut mencapai 7,1 juta ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang semakin tumbuh, diperlukan peningkatan kapasitas produksinya.
Dengan adanya investasi besar di industri petrokimia, Indonesia akan menjadi produsen petrokimia nomor satu di Asean dengan tambahan total kapasitas olefin sebesar 5,7 juta ton per tahun serta tambahan kapasitas poliolefin sebesar 4,7 juta ton per tahun.
Editor : Harso Kurniawan (harso@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily