NEWS – Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia – Sekjen Forum Udang Indonesia Coco Kokarkin Soetrisno mengatakan, konsumsi udang menunjukkan tren pertumbuhan positif selama pandemi Covid-19. Tidak hanya di dalam negeri, tapi juga dari data ekspor yang meningkat.
“Selama pandemi, orang bosan makan daging. Udang kan paling mudah diolah dan enak. Praktis. Jadi semakin banyak orang makan udang dan ekspor pun naik,” kata Coco kepada CNBC Indonesia belum lama ini.
Tren ekspor udang Indonesia, khususnya ke Amerika Serikat (AS), ujarnya, meningkat selama pandemi.
“Konsumen di sana (AS,- red) prefer udang dari Indonesia karena udang dari Ekuador itu lebih premium, mahal sekali. Sementara udang Indonesia tersedia juga di berbagai ukuran. Di sisi lain, pasokan udang dari India juga tengah terkena penalti,” jelasnya.
Soal rasa, lanjutnya, udang adri Indonesia juga diakui oleh konsumen di Jepang.
“Kalau menurut Jepang itu kita 5, Ekuador 8. Sepertinya ini ada pengaruh geografis Indonesia yang kepulauan dan dari tata cara handling dan tata niaga kita. Karena semakin lama alur pengiriman akan mempengaruhi ke rasa,” ujar Coco.
Indonesia, kata dia, mengekspor udang ke Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Timur. Meski, ke Eropa masih minim karena ketatanya pengaturan standar.
“Tahun ini, kita prediksi ekspor bisa tumbuhh 5%. Meski, seharusnya bisa 8% secara volume kalau pembangunan tambak fisik di Indonesia itu dipacu. Belum lagi jika kita mau keluar biaya sedikit untuk meningkatkan perbaikan biosecurity, seharusnya bisa naik 15-25%. Karena salah satu kendala ekspor kita saat ini adalah karena Uni Eropa itu syaratnya bebas residu,” jelasnya.
Meski, imbuhnya, belum ada penolakan dari Uni Eropa, hanya saja kultur petambak udangg di Indonesia diakui sering melupakan hal-hal penting dan detail.
“Petambak kita suka melupakan kaidah penting yang harus diperhatikan. Suka lalai mencegah bakteri dan virus, mulai dari mengelola air. Karena dikejar waktu, kejar panen, persiapan air nggak sempurna, bibit main tebar dengan mengandalkan perhitungan hari (tradisi),” ujarnya.
Padahal, lanjut Coco, tidak akan bisa dicegah begitu masuk penyakit masuk ke dalam tambak. Dan akan langsung menular secara cepat.
“Akibatnya, panen langsung gagal. Di satu sisi, petambak kita patuh dengan tidak menggunakan obat apa pun yang bikin udangnya nanti ditolak pasar,” ujar dia.
Sekretaris Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Machmud mengatakan, tingkat keberterimaan jadi salah satu faktor pemacu ekspro udang Indonesia, termasuk ke Amerika Serikat.
“Kalau menurut para eksportir Indonesia disampaikan bahwa buyers AS mengatakan eksportir Indonesia baik-baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan selama ini jarang terjadi kasus penolakan ekspor udang Indonesia (hasil budidaya). Ditambah tren konsumsi di sana, terpantau dari impor produk perikanan AS yang pertama itu udang,” kata Machmud saat dihubungi CNBC Indonesia belum lama ini.
Machmud mengutip data BPS, nilai ekspor udang Indonesia tahun 2021 mencapai US$2,23 miliar atau sekitar 39% dari total nilai ekspor produk perikanan. Angka itu meningkat 9,3% dibandingkan tahun 2020.
Pasar utama udang Indonesia adalah AS sebesar US$1,6 miliar (71,6% dari total ekspor udang), disusul Jepang, Uni Eropa (27 negara) dan China.
“Peningkatan ekspor, selain karena naiknya produksi udang. Juga karena peningkatan permintaan, terutama di pasar AS. Berdasarkan data NOAA pada Januari-November 2021, impor udang AS melonjak cukup signifikan, sebesar 22,2% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya,” kata Machmud.
Dimana, pemasok utama udang ke AS adalah India, Indonesia, dan Ekuador.
Tahun 2022, KKP sendiri optimistis ekspor udang Indonesia bisa melonjak 30%.
“Target ekspor tumbuh 20-30%, ke Amerika Serikat target naik 15 persenan,” ujarnya.
(dce/dce)